Langsung ke konten utama

BAB III - KASUS-KASUS

Banyak sekali lingkungan di sekitar kita yang perlu mendapat perhatian khusus, karena kondisi lokasi yang sudah kotor, kumuh, banyak polusi, banyak pencemaran, kepadatan tinggi, dan lain-lain. Contoh kasus-kasus hunian di pinggir sungai yang ada di Indonesia:

1.       Sungai Code di Yogyakarta




Kawasan sungai Code, bahwa kawasan bentaran sungai ini perlu menjadi prioritas pembangunan kota Jogja kedepannya. Keberadaan sungai Code yang vital dengan menjamurnya permukiman kumuh padat di sepanjang sungai menjadi alasan terpenting kawasan ini perlu ditata. Permukiman bantaran sungai code, terutama di daerah pusat kota Jogja, memiliki karakteristik yang tipikal atau mirip, yaitu kepadatan tergolong tinggi sekitar 25000 jiwa/km2, sempadan sungai hilang baik untuk hunian ataupun gang kampung, KDB (koefisien dasar bangunan) sangat tinggi dan ruang hijau minim, KLB (koefisien luas bangunan) jauh lebih rendah dari yang diizinkan pemerintah.

Ada banyak sekali masalah yang dapat ditemukan begitu kita masuk ke kawasan bantaran sungai Code. Hal yang paling terlihat kemungkinan besar adalah lingkungan yang kumuh, minim area hijau, dan beberapa bangunan seakan tanpa batas dengan sungai sehingga rawan banjir bila sungai menguap sewaktu-waktu.  Lingkungan bantaran sungai biasanya berisi permukiman padat penduduk dengan akses jalan berupa gang-gang sempit yang menjadikan aksesibilitas di lingkungan ini menjadi sulit. Beberapa kawasan bantaran sungai yang juga berbatasan dengan jalan utama perkotaan, biasanya terdapat banyak area komersil di sepanjang jalan utama yang seakan menutupi kekumuhan area permukiman bantaran sungai dibelakangnya. Hal ini terlihat misalnya di sepanjang jalan Mataram kota Jogja dimana area komersil memadati hampir sepanjang jalan ini. Padahal dibelakangnya tumbuh permukiman bantaran sungai Code yang kumuh dan kotor, sangat kontras dengan kondisi seberang jalan yang dipenuhi bangunan-bangunan tinggi dan mewah. Disisi lain sebenarnya kawasan bantaran sungai memiliki potensi-potensi ‘terpendam’ pada komunitas-komunitas yang ada di dalamnya. Bila dikerucutkan, setidaknya masalah-masalah tersebut dapat dikelompokkan ke dalam isu lingkungan, isu kepadatan, dan isu komunitas.

Isu lingkungan menjadi perhatian pokok dalam menyelesaikan permasalahan di lingkungan bantaran sungai Code. Hal ini karena kondisi tepian sungai yang sudah tidak kondusif dengan permukiman yang menghilangkan sempadan sungai, kumuh dan kotor dengan banyaknya tumpukan sampah, dan permukiman padat yang mengorbankan ruang publik dan area hijau. Kondisi seperti ini tentu banyak ditemukan juga di beberapa permukiman bantaran sungai di daerah lain, dan isunya pun serupa, sempadan sungai yang hilang dan minimnya ruang terbuka hijau publik.

2.       Sungai Ciliwung



Bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang sempadan Sungai Ciliwung, Kota Depok terus menjamur. Upaya pemerintah menertibkan dan menindak pelanggaran aturan tata ruang tersebut tak kunjung dilakukan.

Alih fungsi dan occupasi (pendudukan) sempadan sudah dari dulu. Praktik perampasan sempadan sungai, lanjutnya, terjadi dari kawasan hulu Ciliwung di Puncak Bogor hingga Kampung Pulo, Jakarta. Depok, tuturnya, juga tak luput dari praktik tersebut. Wilayah sempadan Ciliwung digunakan sebagai lahan untuk pembangunan perumahan hingga tempat usaha tertentu.

Aksi pelanggaran tata ruang tersebut akhirnya menuai reaksi dari pegiat lingkungan yang melakukan advokasi lingkungan. Praktik perampasan sempadan Ciliwug sudah terbilang sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya pembangunan perumahan tetapi rumah perorangan dan pembangunan (penampungan) sampah liar.

Praktik alih fungsi lahan hampir bisa ditemui di sepanjang aliran Ciliwung, Depok yang memiliki panjang 24 kilometer. Tak hanya pemukiman, tempat-tempat usaha pun turut dibangun di sempadan sungai. Di Jembatan Biru Citayam, hanya terdapat satu RT, (tetapi) ada tempat pembuangan isi perut kambing aqiqah, ada pemotongan ayam, dan juga pabrik tahu. Tempat usaha itu bukan cuma berdiri di sempadan. Namun mereka juga membuang limbahnya ke Ciliwung.

3.       Kali Winongo, Yogyakarta



Beberapa masalah di daerah bantaran sungai Kali Winongan antara lain masalah pemukiman dan lingkungan, sarana dan prasarana, pembuangan limbah dan sampah, serta vegetasi.

Rumah – rumah yang ada di sekitar Kali Winongo terlalu padat sehingga menyebabkan ruang gerak masyarakat terbatasi. Selain masalah pemukiman yang terlalu padat, masalah lainnya yaitu keadaan lingkungan yang kurang sehat. Hal tersebut terlihat dengan adanya hewan peliharaan berupa anjing yang tidak dikandang melainkan dibiarkan berada di lingkungan biasa. Kesehatan anjing tersebut juga tidak meyakinkan karena tidak diurus dengan baik. Belum lagi adanya dapur umum yang dipakai bersama tidak dirawat dengan baik. Semua ini seharusnya menjadi perhatian lebih bagi masyarakat sekitar Kali Winongo karena untuk kesehatan mereka sendiri.

Permukiman di sekitar kali Winongo termasuk daerah yang sarana dan prasarananya sangat minim dan terbatas. Letak permukiman yang kurang strategis juga menyebabkan sulitnya transportasi. Apalagi gang-gang permukiman di sana juga kecil-kecil sehingga kendaraan pribadi pun sulit dijangkau. Untuk ukuran keluar masuk sepeda motor saja gang-gang disana cukup susah. Maka dari itu warga di sekitar kali Winongo juga jarang yang memiliki kendaraan pribadi karena jalan di sana kurang memadai. Salah satu sarana yang ada di Kali Winongo serta dimanfaatkan sebagai sarana hiburan oleh warga sekitar yaitu lapangan badminton. Lapangan tersebut dimanfaatkan anak-anak sebagai tempat bermain, selain itu lapangan tersebut juga dimanfaatkan para pedagang berjualan.

Sebagian besar warga di Kali Winongo membuang limbah dan sampah dengan cara membuang ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang semestinya, namun beberapa warga di sekitar Kali Winongo lebih suka membuang sampahnya di sungai. Hal tersebut yang membuat Kali Winongo menjadi penuh sampah dan kotor, serta dapat mengakibatkan banjir.


Dengan banyaknya permukiman yang berada di Kali Winongo menyebabkan ketersediaan lahan di Kali Winongo terbatas. Hal ini yang menyebabkan kurangnya lahan terbuka di daerah tersebut. Sehingga ini juga yang menyebabkan kurangnya lahan hijau serta pohon-pohon atau tanaman di daerah permukiman.
















REFERENSI:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUMAH TRADISIONAL KUDUS / JOGLO KUDUS

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/b/bb/Rumah_adat_tradisional_Kudus.JPG Rumah adat Kudus atau Joglo Pencu disebut juga Joglo Kudus adalah Rumah tradisional asal Kudus salah satu rumah tradisional yang mencerminkan perpaduan akulturasi kebudayaan masyarakat Kudus . Rumah Adat Kudus memiliki atap genteng yang disebut “Atap Pencu” , dengan bangunan yang didominasi seni ukir yang sederhana khas kabupaten Kudus yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), Cina (Tionghoa) dan Eropa (Belanda). Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar tahun 1500-an Masehi dengan 95% kayu Jati asli. Joglo Kudus mirip dengan Joglo Jepara tetapi perbedaan yang paling kelihatan adalah bagian pintunya, Joglo Kudus hanya memiliki 1 pintu sedangkan Joglo Jepara memiliki 3 pintu. TATA RUANG JOGLO KUDUS / JOGLO PENCU Rumah adat Kudus Joglo Pencu memiliki 3 bagian ruangan yang disebut Jogo Satru, Gedongan, dan Pawon. •     Jogo Satru

KONSERVASI ARSITEKTUR GEDUNG SATE DI BANDUNG

SEJARAH GEDUNG SATE Sebuah bangunan tua peninggalan masa kolonial Belanda yang terletak di jalan Diponegoro Bandung kerap menarik perhatian orang – orang yang lewat karena memiliki keunikan tersendiri. Gedung yang memiliki ciri khas berupa ornamen yang berbentuk seperti tusuk sate yang terdapat pada menara sentralnya ini sudah sejak zaman dulu menjadi salah satu ikon bersejarah dan bangunan khas kota Bandung, yang dikenal secara nasional. Dinamakan Gedung Sate, gedung ini sekarang berfungsi sebagai gedung tempat pemerintahan Pusat Jawa Barat dan seringkali menjadi tempat berbagai festival seni serta kegiatan lainnya. Kalangan pemerhati arsitektur kerap menjadikan gedung ini sebagai bahan kajian mengenai arsitektur unik, yang bentuknya mendapatkan pengaruh dari arsitektur Eropa. Banyak wisatawan yang berkunjung ke Bandung menyempatkan diri untuk mengunjungi Gedung Sate, sehingga gedung ini juga kerap dianggap sebagai salah satu tujuan wisata utama di Bandung terutama bag

KRITIK ARSITEKTUR

BAB I PENDAHULUAN Masjid adalah rumah tempat ibadah umat Islam atau Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan sebutan lain bagi masjid di Indonesia adalah musholla, langgar atau surau. Istilah tersebut diperuntukkan bagi masjid yang tidak digunakan untuk Sholat Jum'at, dan umumnya berukuran kecil. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran. Masjid Al-Irsyad merupakan sebuah masjid yang terletak di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 2009 dan selesai pada tahun 2010. Bentuk masjid sekilas hanya seperti kubus besar laiknya bentuk bangunan Kubah di Arab Saudi. Dengan konsep ini, dari luar terlihat garis-garis hitam di sekujur dindin