PENGERTIAN OTONOMI
DAERAH
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah,
otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani,
otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos
berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah
tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan
hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan
dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan
bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali
sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004,
bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan
kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab.
a. Kewenangan Otonomi Luas
Yang dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua
bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiscal agama serta kewenangan dibidang lainnya
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan
otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan
mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
b. Otonomi Nyata
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada
dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang di daerah.
c. Otonomi Yang Bertanggung Jawab
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9
tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah
yaitu :
Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu
Tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
DAERAH OTONOM
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasl 1 ayat 6
menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan
masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan
Republik Indonesia.
Menurut Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50)
bahwa daerah otonom adalah bagian organis daripada negara, maka daerah otonom
mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap
terikat dengan negara kesatuan. Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum
yaitu berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
HAKEKAT, TUJUAN, DAN
PRINSIP OTONOMI DAERAH
a. Hakekat Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan
kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat.
Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan
pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik
dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan
masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja
yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik
perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan
analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat
kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/
kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
b. Tujuan Otonomi Daerah
Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah)
adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan
perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
·
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
publik dan kesejahteraan masyarakat.
·
Menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya daerah.
·
Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi
masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan
Undang-undang No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah
diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat
secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah
yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
c. Prinsip Otonomi Daerah
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip
penyelenggaraan otonomi daerah adalah :
1.
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan
dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman
daerah.
2.
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3.
pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh
diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah
otonomi yang terbatas.
4.
Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan
konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah.
5.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah
administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah.
6.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih
meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi
legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan
otonomi daerah.
7.
Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah
propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah.
8.
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan
tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai
pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH
Implementasi otonomi daerah bagi daerah tingkat 1 dan
tingkat 2, seiring dengan pelimpahan wewenang pemerintah pusat dapat
dikelompokkan dalam lima bidang yaitu implementasi dalam pembinaan wilayah,
pembinaan sumber daya manusia, penanggulangan dan percepatan penurunan
kemiskinan, penataan hubungan fungsional antara DPRD dan pemerintah daerah,
serta peningkatan koordinasi atau kerja sama tim (team work).
Implementasi Otonomi
Daerah dalam Pembinaan Wilayah
Pelaksanaan otonomi daerah tidak secara otomatis menghilangkan
tugas, peran, dan tanggungjawab pemerintah pusat, karena otonomi yang
dijalankan bukan otonomi tanpa batas. Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyatakan
bahwa “Indonesia itu satu eenheidstaat”, Indonesia tidak akan mempunyai daerah
dengan status staat atau negara. Otonomi tidak dirancang agar suatu daerah
memiliki sifat-sifat seperti suatu negara. Pemerintah pusat dalam kerangka
otonomi masih melakukan pembinaaan wilayah. Pembinaan wilayah dapat diartikan
bagaiman mengelola dan mengerahkan segala potensi wilayah suatu daerah untuk di
dayagunakan secara terpadu guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Potensi
wilayah termasuk segala potensi sumber daya yang mencakup potensi kependudukan,
sosial ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan.
Pola pembinaan wilayah dilaksanakan dengan mendelegasikan
tugas-tugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilaksanakan, dan
dipertanggungjawabkan oleh pemerintah daerah. Pada prinsipnya pembinaan wilayah
diserahkan kepada daerah unuk mengelola sumber daya yang potensial untuk
kesejahteraan daerah, dan dalam negara kesatuan, tugas pemerintah pusat
melakukan pengawasan. Bentuk pengawasan dalam otonomi daerah adalah seluruh
rancangan kegiatan dan anggaran daerah tingkat II dibuat kepala daerah dan DPRD
II, serta diperiksa oleh gubernur. Untuk rencana kegiatan dan anggaran tingkat
I, dibuat gubernur dan DPRD I, dan diperiksa oleh menteri dalam negeri atas
nama pemerintah pusat.
Tugas dan fungsi pembinaan wilayah meliputi prinsip
pemerintahan umum, yaitu penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah,
memfasilitasi dan mengakomodasi kebijakan daerah, menjaga keselarasan
pemerintah pusat dan daerah, menciptakan ketenteraman dan ketertiban umum,
menjaga tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas wilayah, menyelenggarakan
kewenangan daerah, dan menjalankan kewenangan lain.
Pejabat pembina wilayah dilaksankan oleh kepala daerah yang
menjalankan dua macam urusan pemerintahan, yaitu urusan daerah dan urusan
pemerintahan umum.
Implementasi Otonomi
Daerah dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia
Pelaksaan otonomi daerah memberikan wewenang pembinaan
sumber daya manusia kepada daerah. Hal ini tugas berat bagi daerah, karena SDM
pada umumnya mempunyai tingkat kompetensi, sikap, dan tingkah laku yang tidak
maksimal. Menurut kaloh (2002) banyak faktor yang menyebabkan kinerja pegawai
negeri sipil (PNS) rendah, yaitu: (a) adanya monoloyalitas PNS kepada satu
partai pada zaman ORBA, sehingga mendorong PNS bermain politik praktis atau
tersembunyi, (b) prose rekrutmen PNS masih tidak sesuai dengan ketentuan yang
ada berdasarkan jenis dan persyaratan pekerjaan, (c) rendahnya tingkat
kesejahteraan, (d) penempatan dan jenjang karir tidak berdasarkan jenjang karir
dan bidang keahlian, dan (e) PNS terkesan kurang ramah, kurang informatif, dan
lamban dalam memberikan pelayanan.
Dalam era otonomi, daerah harus mempersiapkan SDM untuk
memenuhi kebutuhan dan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Pemerintah
membutuhkan PNS yang tanggap, responsip, kreatif, dan bekerja secara efektif.
Untuk menunjang kinerja daerah dalam rangka kerja sama antar
daerah dan pusat, pemda membutuhkan SDM yang mempunyai kemampuan mengembangkan
jaringan dan kerja sam tim, dan mempunyai kualitas kerja yang tinggi.
Untuk pembinaan SDM, pemda diharapkan: (1) membuat struktur
organisasi yang terbuka, (2) menyediakan media untuk PNS berkreatif dan membuat
terobosan baru, (3) mendorong PNS berani mengambil resiko, (4) memberikan
penghargaan bagi yang berhasil, (5) mengembangkan pola komunikasi yang efektif
antar PNS, (6) membangu suasana kerja di PNS yang inovatif, (7) mengurangi
hambatan birokrasi, (8) mencegah tindakan intervensi yang mengganggu proses
kerja profesional; dan (9) mendelegasikan tanggung jawab dengan baik.
Memperbaiki cara kerja birokrasi dengan cara memberikan
teladan, membuat perencanaan, melaksanakan kerja denga pengawasan yang memadai,
menentukan prioritas, memecahkan masalah dengan inoivatif, melakukan komunikasi
lisan dan tulisan, melakukan hubungan antar pribadi, dan memperhatikan waktu
kehadiran dan kretaivitas.
Mengurangi penyimpangan pelayanan birokrasi. Pelayanan
pemerintah sering kali banyak mengalami penyimpangan yang disebabkan sistem
birokrasi, atau keinginan menambah penghasilan dari pegawai. Pemda harus
melakukan perbaikan dengan: menegakan disiplin pegawai dengan memberikan
penghargaan dan sanksi, memberikan pelayanan yang berorientasi pelanggan,
menetapkan tanggung jawab dengan jelas, dan mengembangkan budaya birokrasi yang
bersih, serta memberikan pelayanan cepat dan tepat dengan biaya murah.
Implementasi Otonomi
Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan
Masalah merupakan masalah penting bagi pemerintah daerah.
Otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dengan
tujuan peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya.
Pengentasan kemiskinan menjadi tugas penting dari UU nomor
25 tahun 1999, dimana pemda mempunyai wewenang luas, dan didukung dana yang
cukup dari APBD. Pengentasan kemiskinan menggunakan prinsip: penegmbangan SDM
dengan memberdayakan peranan wanita, membrdayakan dan memprmudah akses keluarga
miski utuk berusaha, dengan mendekatkan pada modal dan pemasaran produknya,
menanggulangi bencana, dan membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat
miskin.
Program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan berdasarka
karakter penduduk dan wilayah, dengan melakukan koordinasi antar-instansi yang
terkait.
Pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan harus
mengedepankan peran masyarakat dan sektor swasta, dengan melakukan ivestasi
yang dapat menyerap tenaga kerja dan pasar bagi penduduk miskin.
Membangun paradigma baru tentang peranan pemda, yaitu dari
pelaksana menjadi fasilitor, memberikan interuksi menjadi melayani, mengatur
menjadi memberdayakan masyarakat, bekerja memenuhi aturan menjadi bekerja untuk
mencapai misi pembangunan.
Dalam pemberdayan masyarakat, peranan pemda adalah
memberikan legitimasi kepada LSM dan masyarakat penerima bantuan, menjadi
penengah apabila terjadi konflik, mendorong peningkatan kemampuan keluarga
miskin, turut mengendalikan pembangunan fisik, dan memberikan sosialisasi
gerakan terpadu pengentasan kemiskinan.
Pemda dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan
dapat mengambil kebijakan keluarga, yaitu mendata dengan benar karakter
keluarga miskin, mengidentifikasi tipe dan pola keluarga miskin, melakukan
intervensi kebijakan, yang meliputi kebijakan penyediaan sumber daya melalui
pendidikan dan pelatihan, menyediakan program yang mendorong kesempatan kerja,
dan menyediakan program untuk membangun lingkungan fisik masyarakat miskin, seperti
prasarana jalan, jembatan, perumahan, listrik dan air bersih, dan pada tahap
akhir pemda melakukan evaluasi efektivitas dari pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan.
Implementasi Otonomi
Daerah dalam Hubungan Fungsional Eksekutif dan Legislatif
Hubungan eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD) dalam era
otonomi mencuat dengan munculnya ketidakharmonisan antara pemda dan DPRD.
Ketidakharmonisan dipicu oleh interprestasi dari UU nomor 22 tahun 1999, yang
menyatakan peran legislatif lebih dominan dibandingkan peran pemda, dan hal ini
bertentangan dengan kondisi sebelumnya, dimana pemda lebih dominan daripada
DPRD.
Ketidakharmonisan harus dipecahkan dengan semangat otonomi,
yaitu pemberian wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya dalam menjawab
permasalahan rakyat, yang meliputi administrasi pemrintahan, pembangunan, dan
pelayanan publik.
Asas dalam otonomi menurut UU No. 22 tahun 1994 adalah: (1)
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, kecuali dalam
bidang hankam, luar negeri, peradilan, agama, mpneter, dan fiskal, (2)
pelimpahan wewenang pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah, dan (3) pembantuan yaitu penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk melaksanakan tugas teretentu yang disertai pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta SDM, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat.
Kepala daerah mempunyai wewenang memimpin penyelenggaraan
pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, bertanggung jawab
kepada DPRD, dan menyampaikan laporan atas penyelenggaraan pemerintah daerah
kepada presiden melalui mendagri, minimal satu tahun sekali melalui gubernur.
DPRD dalam era otonomi mempunyai wewenang dan tugas: memilih
gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/ wakil walikota,
membentuk peraturan daerah, menetapkan anggaran pendapatan belanja daerah,
melaksankan pengawasan. Memberikan saran pertimbangan terhadap perjanjian
internasional menyangkut kepentingan daerah, serta menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Kepala daerah dan DPRD dalam melakukan tugasnya dapat
melakukan komunikasi yang intensuf, baik untuk tukar menukar informasi, dan
pengembangan regulasi maupun klarifikasi suatu masalah.
Prinsip kerja dalam hubungan antara DPRD dengan kepala
daerah adalah: proses pembuatan kebijakan transparan, pelaksanaan kerja melalui
mekanisme akuntabilitas, bekerja berdasarkan susduk, yang mencakup kebijakan,
prosedur dan tata kerja, menjalankan prinsip kompromi, dan menjunjung tinggi
etika.
Implikasi Otonomi
Daerah dalam Membangun Kerja Sama Tim
Koordinasi merupakan maslah yang serius dalam pemerintah
daerah. Sering bongkar dan pasang sarana dan prasarana seperti PAM,PLN, dan
Telkom menunjukan lemahnya koordinasi selama ini.
Dalam rangka otonomi, di mana pemda mempunyai wewenang
mengatur enam bidang selain yang diatur pusat, maka pemda dapat mengatur sektir
riil seperti transportasi, sarana/prasarana, pertanian, dan usaha kecil, serta
wewenang lain yang ditentukan undang-undang.
Lemahnya koordinasi selam otonomi daerah telah menimbulkan
dampak negatif, di antaranya: inefisiensi organisasi dan pemborosan uang,
tenaga dan alat, lemahnya kepemimpinan koordinasi yang menyebabkan keputusan
tertunda-tunda, tidak tepat dan terjadi kesalahan, serta tidak terjadi
integrasi dan sinkronisasi pembangunan.
Penyebab kurangnya koordinasi dalam era otonomi daerah di
pemda antara lain karena sesama instansi belum mempunyai visi yang sama, tidak
adanya rencana pembangunan jangka panjang yang menyebabkan arah kebijakan tidak
strategis, rendahnya kemauan kerja sama, gaya kepemimpinan yang masih komando,
rendahnya keterampilan, integritas dan kepercayaan diri.
Dalam rangka meningkatkan koordinasi, maka pemerintah daerah
harus menciptakan kerja sama tim. Kerja tim dilaksanakan dengan (1) pelatihan
kepada PNS pemda untuk menumbuhkan komitmen, integritas, kejujuran, rasa hormat
dan percaya diri, peduli terhadap pemerintah daerah, mempunyai kemauan dan
tanggung jawab, matang secara emosi, dan mempunyai kompetensi, (2)
mengembangkan visi dan misi pemerintahan daerah yang menjadi acuan kerja, (3)
membuat sistem kerja yang baik, yaitu adanya kejelasan tugas pokok, fungsi dan
akuntabilitas pekerjaan, dan (4) membangun suasana dialogis antar pimpinan dan
staf pemda.
Terkait dengan implementasi otonomi daerah, maka ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan otonomi daerah, yaitu:
Meningkatkan kualitas
SDM. Yang dapat dilakukan melalui:
·
Pelaksanaan seleksi PNS yang jelas, ketat, yang
baik, serta berdasarkan pekerjaan dan spesifikasi lowongan pekerjaan.
·
Peningkatan kompetensi, keterampilan, dan sikap
melalui pelatihan dan pendidikan, sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah,
serta mengevaluasi keefektifan program pendidikan dan pelatihan.
·
Penempatan PNS berdasarkan kompetensi, minat,
dan bakat, serta kebutuhan pemerintah daerah.
·
Pengembangan SDM yang kreatif, inovatif,
fleksibel, profesional, dan sinergis di pemda.
·
Menindaklanjuti ketentuan undang-undang tentang
otonomi dengan peraturan daerah yang terkait dengan kelembagaan, kewenangan,
tanggung jawab, pembiayaan, SDM, dan sarana penunjang terhadap penugasan
wewenang yang dilimpahkan pemerintah pusat.
·
Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam bidang
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.
·
Mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang
efektif, objektif, rasional, dan modern.
PEMANFAATAN SUMBER
DAYA ALAM DENGAN UU NO. 25 TAHUN 1999
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah menuju
kemandirian lokal, maka di dalam upaya mereform perundang-undangan tentang
otonomi daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah membawa nuansa dan paradigma
baru yang jauh berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya. Dengan demikian
diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu
menyelenggarakan otonomi daerahnya, terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya,
daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang
cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar, yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat dan
daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Sumber pembiayaan dalam rangka perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sumber pembiayaan penyelenggaraan otonomi
daerah seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal
79 telah memberikan landasan yuridis tentang pemberian sumber pendapatan daerah
dapat dibagi kedalam 4 golongan , yaitu :
1) Pendapatan
Asli Daerah, yaitu :
(a) Hasil pajak
daerah
(b) Hasil retribusi
daerah
(c) Hasil perusahaan
milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan
(d) Lain-lain
pendapatan asli Daerah yang sah.
2) Dana
perimbangan
3) Pinjaman
Daerah, dan
4) Lain-lain
pendapatan Daerah yang sah.(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 79).
1. Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh
daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber-sumber yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah serta
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur
dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya
yaitu PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah.
Untuk mendorong efisiensi, maka Undang-Undang mengenai pajak
dan retribusi ini (dikenal sebagai Undang-Undang PDRB) memberikan suatu
penyederhanaan atas banyaknya jenis pajak dan retribusi di masa lalu yang
cenderung mengakibatkan timbulnya biaya ekonomi yang tinggi. Berdasarkan
Undang-Undang ini, jumlah pajak dan retribusi daerah relatif berkurang.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi
daerah, tampaknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum diandalkan oleh
daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi dikarenakan beberapa hal
sebagai berikut :
a) Relatif
rendahnya basis pajak/retribusi daerah;
b) Peranannya
yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah;
c) Kemampuan
perencanaan dan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah sehingga
cenderung pemungutan pajak dibebani oleh biaya pungut yang besar.
d) Pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan
penerimaan daerah mengalami kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
daerah.
2. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaana
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya jumlah dana perimbangan ini
ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Hal ini sejalan dengan tujuan pokok dari Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, yaitu memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan perekonomian daerah ; menciptakan sistem pembiayaan
daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung
jawab, dan berupaya mewuijudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung
jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dalam
kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya, dan memberikan kepastian
sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Menyangkut soal dana perimbangan, ditetapkan atas dasar
perhitungan prosentase tertentu dari seluruh realisasi penerimaan dalam negeri
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 pasal 80, dana perimbangan terdiri dari :
- Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
- Dana Alokasi Umum; dan
- Dana Alokasi Khusus.
a). Bagi Hasil
Penerimaan Negara
Bagi hasil penerimaan negara yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1999 terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan Pajak yang dikenakan
atas Bumi dan Bangunan. Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Yang menjadi objek pajaknya adalah Bumi dan/atau bangunan. Pengertian Bumi
adalah permukaan dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, sedangkan Bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan.
Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dalam
imbangan 10 % (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90 % (sembilan puluh
persen) untuk Daerah. Selanjutnya 10 % (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan bagian pemerintah pusat sebagaimana pembagian diatas dibagikan
kepada seluruh Kabupaten dan Kota.
Alokasi pembagian ini didasarkan atas realisasi penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan tahun anggaran berjalan. Besarnya alokasi pembagian
tersebut diatur sebagai berikut : Bahwa 65 % (enam puluh lima persen) dibagikan
secara merata dengan porsi yang sama besar kepada seluruh Kabupaten dan Kota,
kemudian 35 % (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada
Kabupaten dan Kota yang realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor
pedesaan dan perkotaan berhasil melampaui rencana penerimaan yang telah
ditetapkan pada Tahun Anggaran sebelumnya.
Bea perolehyan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB adalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Tarif
pajaknya adalah 5 % dari dasar pengenaan pajak yaitu Nilai Perolehan Objek
Pajak. Perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang
pribadi atau badan.
Kemudian Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk Pemerintah
Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah. Selanjutnya bagian Daerah
dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 80 % di atas di bagi
untuk daerah dengahn rincian bahwa 16 % (enam belas persen) untuk daerah
Provinsi yang bersangkutan disalurkan ke rekening Kas Daerah Provinsi, dan 64 %
(enam puluh empat persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan disalurkan
ke rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian yang menjadi bagian dari Pemerintah Pusat dibagikan
kepada seluruh Kabupaten dan Kota untuk pemerataan 10 % (sepuluh persen) dari
penerimaan PBB dan 20 % (dua puluh persen) dari BPHTB.
Selanjutnya yang dimaksud dengan Bagian Daerah dari
penerimaan sumber daya alam adalah bagian daerah dari penerimaan negara yang
berasal dari pengtelolaan sumber daya alam, antara lain di bidang pertambangan
umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan, dan perikanan. Penerimaan
Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan
sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh persen) untuk
Pemerintah Pusat dan 80 % (delapan puluh persen) untuk Daerah.
Sedangkan Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor
pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :
a) Penerimaan
negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah daerah setelah
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan
imbangan 85 % (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima
belas persen) untuk Daerah.
b) Penerimaan
Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan
imbangan 70 % (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15 % (lima belas
persen) untuk Daerah.
Bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam
dari sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan yang
diterima dari Pemerintah Pusat ditetapkan sebagai berikut :
1) Sektor
Kehutanan dibagi sebagai berikut :
a) 80 % (delapan
puluh persen) dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan dibagi dengan
perincian :
(a) Bagian Provinsi
sebesar 16 % (enam belas persen);
(b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b) 80 % (delapan
puluh persen) dari penerimaan Provinsi Sumber Daya Hutan di bagi dengan perincian
:
(a) Bagian Provinsi
sebesar 16 % (enam belas persen);
(b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c) Bagian
Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga
puluh dua persen).
2) Sektor
Pertambangan Umum dibagi sebagai berikut :
a) 80 % (delapan
puluh persen) dari penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) di bagi dengan perincian
:
(a) Bagian Provinsi
sebesar 16 % (enam belas persen)
(b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 64 % (enam puluh empat persen).
b) 80 % (delapan
puluh persen) dari penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (royalty)
dibagi dengan perincian :
(a) Bagian Provinsi
sebesar 16 % (enam belas persen);
(b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 32 % (tiga puluh dua persen);
(c) Bagian
Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 32 % (tiga
puluh dua persen).
3) Sektor
Perikanan
Sebanyak 80 % (delapan puluh persen) dari Pungutan
Pengusahaan Perikanan dan Pungutan Hasil Perikanan dibagikan secara merata
kepada seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor perikanan
terdiri dari :
a. Penerimaan
Pungutan Pengusahaan Perikanan
b. Penerimaan
Pungutan Hasil Perikanan
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan
Minyak Bumi diperinci sebagai berikut.
a) Bagian
Provinsi yang bersangkutan sebesar 3 % (tiga persen);
b) Bagian
Kabupaten/Kota penghasil sebesar 6 % (enam persen);
c) Bagian
Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam
persen).
Bagian Daerah yang berasal dari penerimaan Pertambangan Gas
Alam dibagi dengan perincian sebagai berikut :
a) Bagian
Provinsi yang bersangkutan sebesar 6 % (enam persen);
b) Bagian Kabupaten/Kota penghasil sebesar 12 %
(dua belas persen);
c) Bagian
Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan sebesar 12 % (dua belas
persen).
Lebih jauh pengaturan kedua sumber Penerimaan Negara ini
yang menjadi porsi Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan
Kota. Dengan perkataan lain bahwa secara nominal kedua sumber penerimaan ini
seluruhnya milik daerah, walaupun ada intervensi Pemerintah Pusat dalam skala
yang relatif kecil sebagai penyangga keseimbangan penerimaan antar daerah.
Sumber penerimaan daerah dari bagi hasil memang secara
explisit telah ditujukan gambaran nominalnya dalam bentuk persentase.
Berdasarkan rumusan yang demikian posisi masing-masing daerah otonom sebetulnya
pada pengkajian terukur terhadap sumber-sumber penerimaan. Melalui gambaran
demikian, paling tidak setelah diberlakukannya Undang-Undang secara langsung
dapat terdeteksi konstribusi penerimaan daerah otonom dari sumber-sumber ini
dalam konteks fiskal daerah. Lebih jauh yang menjadi pertanyaan adalah melalui
prinsip alokasi dana berdasarkan daerah penghasil seperti itu tentu akan sangat
bervariatif dampaknya kepada masing-masing daerah otonom. Daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam yang signifikan seperti Kalimantan Timur,
Riau, Irian Jaya, Aceh, dan lainnya tentu akan memiliki alokasi yang besar yang
memang telah dijaminkan dalam Undang-Undang persentase keberadaannya. Bagi
daerah yang “kurang” potensi sumber daya alam memang akan berdampak cukup
serius pada posisi fiskal daerah, khususnya dari sisi penerimaan (revenue
side-nya). Melalui Undanag-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kondisi yang demikian
akan dikompensasi melalui dana perimbangan yang berupa alokasi umum, disamping
juga dana alokasi khusus.
REFERENSI:
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-otonomi-daerah-makalah.html
http://kiprahagroforestri.blogspot.co.id/2011/08/rencana-tata-ruang-wilayah-dan.html
http://kiprahagroforestri.blogspot.co.id/2011/08/rencana-tata-ruang-wilayah-dan.html
Komentar
Posting Komentar