1. Definisi
Konservasi Arsitektur
Menurut Wikipedia, konservasi
adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari
bahasa Inggris, Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah :
1.
Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau
distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak
menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
2.
Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan
dan sumber daya alam
Di Indonesia, berdasarkan
peraturan perundang-undangan, Konservasi sumber daya alam hayati adalah
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Cagar alam dan suaka
margasatwa merupakan Kawasan Suaka Alam (KSA), sementara taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Cagar alam karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka margasatwa
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwanya.
Taman nasional mempunyai
ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman hutan raya
untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi. Taman wisata alam dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi
alam.
Itulah pengertian konservasi.
Lalu bagaimana konservasi dari segi arsitektur? Pengertian Konservasi
Arsitektur adalah penyelamatan suatu obyek/bangunan sebagai bentuk apreasiasi
pada perjalanan sejarah suatu bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual
bangsa antar generasi.
Theodore Roosevelt (1902)
merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Konservasi yang berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian tentang upaya
memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use).
Pada awalnya konsep konservasi
terbatas pada pelestarian benda – benda/monumen bersejarah (biasa disebut
preservasi). Namun konsep konservasi tersebut berkembang, sasarannya tidak
hanya mencakup monumen, bangunan atau benda bersejarah melainkan pada
lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi
dasar bagi suatu tindakan konservasi.
Menurut Sidharta dan Budihardjo
(1989), konservasi merupakan suatu upaya untuk melestarikan bangunan atau
lingkungan, mengatur penggunaan serta arah perkembangannya sesuai dengan
kebutuhan saat ini dan masa mendatang sedemikian rupa sehingga makna
kulturalnya akan dapat tetap terpelihara.
Menurut Danisworo (1991),
konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan,
gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya. Di samping itu, tempat
yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi,
keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992).
Dari aspek proses disain perkotaan (Shirvani, 1985), konservasi harus
memproteksi keberadaan lingkungan dan ruang kota yang merupakan tempat bangunan
atau kawasan bersejarah dan juga aktivitasnya.
Dalam Burra Charter konsep
konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang
telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses
pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang
terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu
diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan
fungsinya. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai
dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan
lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub
bagian kota mencakup suatu upaya pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial
atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja.
Konservasi dengan demikian
sebenarnya merupakan pula upaya preservasi namun dengan tetap memanfaatkan
kegunaan dari suatu tempat untuk menampung/memberi wadah bagi kegiatan yang
sama seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga
dapat membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya. Dengan kata lain konservasi
suatu tempat merupakan suatu proses daur ulang dari sumber daya tempat
tersebut.
2. Jenis-jenis
Konservasi
Dalam pelaksanaan konservasi terhadap kawasan/
bangunan cagar budaya, maka ada tindakan-tindakan khusus yang harus dilakukan
dalam setiap penanganannya (Burra Charter, 1999), antara lain:
a.
Konservasi yaitu semua kegiatan pemeliharaan suatu tempat sedemikian
rupa sehingga mempertahankan nilai kulturalnya
b.
Preservasi adalah mempertahankan bahan dan tempat dalam kondisi
eksisting dan memperlambat pelapukan
c.
Restorasi / Rehabilitasi adalah upaya mengembalikan kondisi fisik
bangunan seperti sediakala dengan membuang elemen-elemen tambahan serta
memasang kembali elemen-elemen orisinil yang telah hilang tanpa menambah bagian
baru
d.
Rekonstruksi yaitu mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula
sebagaimana yang diketahui dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru dan
dibedakan dari restorasi
e.
Adaptasi / Revitalisasi adalah segala upaya untuk mengubah tempat agar
dapat digunakan untuk fungsi yang sesuai
f.
Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah
rusak atau membahayakan.
3. Tujuan
Konservasi
Menurut David Poinsett, Preservation News (July, 1973.
p5-7), keberadaan preservasi objek-objek bersejarah biasanya mempunyai tujuan :
a.
Pendidikan
Peninggalan objek-objek
bersejarah berupa benda-benda tiga dimensi akan memberikan gambaran yang jelas
kepada manusia sekarang, tentang masa lalu, tidak hanya secara fisik bahkan
suasana dan semangat masa lalu.
b.
Rekreasi
Adalah suatu kesenangan
tersendiri dalam mengunjungi objek-objek bersejarah karena kita akan mendapat
gambaran bagaimana orang-orang terdahulu membentuk lingkungan binaan yang unik
dan berbeda dengan kita sekarang.
c.
Inspirasi
Patriotisme adalah semangat
yang bangkit dan tetap akan berkobar jika kita tetap mempertahankan hubungan
kita dengan masa lalu, siapa kita sebenarnya, bagaimana kita terbentuk sebagai
suatu bangsa dan apa tujuan mulia pendahulu kita. Preservasi objek bersejarah
akan membantu untuk tetap mempertahakan konsep-konsep tersebut.
d.
Ekonomi
Pada masa kini objek-objek
bersejarah telah bernilai ekonomi dimana usahausaha untuk mempertahan bangunan
lama dengan mengganti fungsinya telah menjadi komoditas parawisata dan
perdagangan yang mendatangkan keuntungan.
4. Manfaat
Konservasi
·
Memperkaya pengalaman visual
·
Memberi suasana permanen yang menyegarkan
·
Memberi kemanan psikologis
·
Mewariskan arsitektur
·
Asset komersial dalam kegiatan wisata internasional
5. Skala /
Lingkup Konservasi
·
Lingkungan Alami (Natural Area)
·
Kota dan Desa (Town and Village)
·
Garis Cakrawala dan Koridor pandang (Skylines and View Corridor)
·
Kawasan (Districts)
·
Wajah Jalan (Street-scapes)
·
Bangunan (Buildings)
·
Benda dan Penggalan (Object and Fragments)
6. Kriteria
Konservasi
·
Estetika
·
Kelangkaan
·
Keistimewaan
·
Peranan Sejarah
·
Penguat Kawasan di Sekitarnya
7. Peran
Arsitek Dalam Konservasi
Internal
a.
Meningkatkan kesadaran di kalangan arsitek untuk mencintai dan mau
memelihara warisan budaya berupa kawasan dan bangunan bersejarah atau bernilai
arsitektural tinggi.
b.
Meningkatkan kemampuan serta penguasaan teknis terhadap jenis-jenis
tindakan pemugaran kawasan atau bangunan, terutama teknik adaptive reuse
c.
Melakukan penelitian serta dokumentasi atas kawasan atau bangunan yang
perlu dilestarikan.
Eksternal
a.
Memberi masukan kepada Pemda mengenai kawasan-kawasan atau bangunan yang
perlu dilestarikan dari segi arsitektur.
b.
Membantu Pemda dalam menyusun Rencana Tata Ruang untuk keperluan
pengembangan kawasan yang dilindungi (Urban Design Guidelines)
c.
Membantu Pemda dalam menentukan fungsi atau penggunaan baru
bangunan-bangunan bersejarah atau bernilai arsitektural tinggi yang fungsinya
sudah tidak sesuai lagi (misalnya bekas pabrik atau gudang) serta mengusulkan
bentuk konservasi arsitekturalnya.
d.
Memberikan contoh-contoh keberhasilan proyek pemugaran yang dapat
menumbuhkan keyakinan pengembang bahwa dengan mempertahankan identitas
kawasan/bangunan bersejarah, pengembangan akan lebih memberikan daya tarik yang
pada gilirannya akan lebih mendatangkan keuntungan finansial.
8. Sasaran
Konservasi
·
Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian
·
Memanfaatkan obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini
·
Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan
masa lalu, tercermin dalam obyek pelestarian
·
Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota, dalam wujud fisik tiga
dimensi lingkup kegiatan
9. Jenis
Kegiatan Pelestarian
Highfield
(1987: 20-21) menjabarkan tingkat perubahan pada tindakan pelestarian dalam
tujuh tingkatan, yakni;
a.
Perlindungan terhadap seluruh struktur bangunan, beserta dengan
subbagian-bagian penyusunnya, dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan,
dan sarana-prasarana. Dalam tingkat pelestarian yang paling rendah, perubahan
yang memungkinkan terjadi adalah perbaikan tangga eksisting untuk disesuaikan
dengan kebutuhan lift, penggunaan sistem penghawaan buatan sederhana yang
dikombinasikan dengan penghawaan alami;
b.
Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior bangunan, termasuk atap
dan sebagian besar interiornya, dengan perubahan kecil pada struktur internal,
dan memperbaiki finishing interior, utilitas bangunan, dan sarana saniter.
Perubahan struktural dapat melibatkan demolisi beberapa subbagian interior,
atau penambahan tangga baru, dan apabila memungkinkan shaft lift;
c.
Perlindungan terhadap seluruh selubung eksterior eksisting, termasuk
atap, dengan perubahan besar pada struktur internal serta perbaikan finishing,
utilitas, dan sarana saniter. Perubahan besar pada struktur internal dapat
melibatkan penambahan tangga beton bertulang yang baru, instalasi lift,
demolisi dinding struktur pada interior secara skala yang lebih luas, atau penambahan
lantai baru selama sesuai dengan ketinggian lantai aslinya;
d.
Perlindungan seluruh dinding selubung bangunan, dan demolisi total pada
atap dan interiornya, dengan membangun bangunan yang sama sekali baru di
belakang fasad yang dipertahankan. Opsi ini dapat dilakukan pada bangunan yang
terisolasi, seluruh dinding fasad eksternal layak untuk dilindungi, tapi
pengembangan ke depannya menbutuhkan wadah untuk fungsi yang sama sekali baru,
bebas dari elemen internal bangunan eksisting;
e.
Perlindungan hanya pada dua atau tiga penampang/tampak bangunan
eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan pembangunan bangunan
yang sama sekali baru di belakang dinding fasad yang dipertahankan. Opsi ini
dapat dilakukan pada bangunan yang tapaknya terletak pada sudut pertemuan dua
atau lebih jalan;
f.
Perlindungan hanya pada satu penampang/tampak bangunan, sebuah dinding
fasade dari bangunan eksisting, dan demolisi total terhadap sisanya, dengan
membangun bangunan yang sama sekali baru di belakang dinding fasad. Opsi ini
dapat dilakukan apabila bangunan tersebut hanya memiliki satu fasad yang
penting, tampak bangunan yang penting tersebut menghadap jalan utama dan
seluruh sisa tampaknya menempel pada bangunan di sekelilingnya; dan
g.
Opsi paling drastis pada pengembangan kembali adalah dengan tidak
memberikan pilihan untuk pelestarian, tetapi dengan demolisi total bangunan
eksisting dan menggantinya dengan bangunan yang baru.
10. Kriteria
Tolak Ukur dan Penggolongan Bangunan Cagar Budaya
Berdasarkan Peraturan Daerah
DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah
bangunan cagar budaya adalah:
a.
Tolak ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa
perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai
kesejarahan pada tingkat nasional dan atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b.
Tolak ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
c.
Tolak ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana
lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
d.
Tolak ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah
bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil
dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan
tersebut.
e.
Tolak ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang
menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.
Dari kriteria dan tolak ukur
di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:
·
Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang
mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
·
Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami
perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
·
Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah
banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian.
11. Klasifikasi
Golongan Bangunan Cagar Budaya
Penggolongan bangunan cagar budaya dikelompokan menjadi golongan A, B,
C, dan D.Bangunan cagar budaya kelas A adalah bangunan yang harus dipertahankan
sesuai bentuk aslinya. Kelas B adalah bangunan cagar budaya yang dapat dipugar
dengan cara restorasi. Kelas C dapat diubah dengan tetap mempertahankan tampak
bangunan utama. Kelas D dapat dibongkar dan dibangun seperti semula, karena
kondisinya membahayakan penghuni dan lingkungan sekitarnya. Secara detail,
berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya
dibagi menjadi sebagai berikut:
GOLONGAN A
Pemugaran bangunan pada
golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut
(Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
·
Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah.
·
Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak
dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai
dengan aslinya.
·
Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/
sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen
bangunan yang telah ada.
·
Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan
fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya.
GOLONGAN B
Pemugaran bangunan golongan
ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI
Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
·
Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik
bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan
pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya.
·
Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola
tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen
bangunan yang penting.
·
Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan
tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan.
·
Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya
bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.
GOLONGAN C
Pemugaran bangunan golongan
ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut
(Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):
·
Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola
tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan.
·
Detail rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan
disekitarnya dalam keserasian lingkungan.
·
Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat
dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur
bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan.
·
Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.
·
Pemanfaatan Kembali Bangunan Cagar Budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar